Skip to content

Curhat Yang Tersirat

Oosterdam terdiri dari sebelas deck. Urut dari yang paling bawah yaitu c, b, a, 1, 2, 3 sampai dengan 11. Masing masing angka 1, 2, 3 dan seterusnya ada sebutan yang lain. Untuk 1 adalah main deck, 2 adalah lower promenade deck, 3 promenade deck dan seterusnya hingga deck paling atas disebut sport deck. Hari pertama datang aku langsung menempati kamar B 130. Satu kamar terdiri dari 2 orang. Setiap kapal tempat tidur dibuat bertingkat. Kebetulan aku menempati yang paling bawah. Masing-masing tempat tidur dilengkapi dengan korden. Apabila ingin tidur korden dapat ditarik menutup. Minggu pertama aku langsung berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Tidak ada perasaan asing hanya untuk tinggal di sebuah kamar di kapal karena kontrak pertama sudah pernah terjalani. Dinding kapal yang terbuat dari besi steinless bercat kuning berada tepat di sampingku dan terasa sangat dingin jika kusentuh. B 130 menjadi tempat peraduan terindah setelah aku berhasil menyesuaikan. Tiap kali habis kerja kutumpahkan semua keluh kesah di dalam korden. Tak ada yang tahu pikiranku kemana. Tak ada yang menyaksikan bagaimana mataku hanya menatap papan kayu yang menjadi alas tempat tidur di atasku. Kala anganku menerawang menembus semua yang ada di depan mata hanya kudengar suara ac kamar yang mengalun lembut dengan suaranya yang khas, mendesah stabil. Beberapa hiasan yang tertempel di dinding sebelahku rebah hanya souvenir berbentuk orang-orangan bertuliskan costa maya. Costa Maya adalah salah satu kota di Mexico yang sempat dikunjungi beberapa waktu lalu. Souvenir itu tertempel karena magnet di belakangnya. Ada keinginan untuk mengganti souvenir itu dengan sebuah foto yang kuingini. Foto yang menghiasai dinding tempat tidur. Seperti tempat tidur rekan-rekanku yang lain yang mana terpampang foto keluarga, foto istri, foto anak maupun foto seseorang yang tengah menunggu di rumah. Tak ada yang tahu betapa aku iri dengan atribut tempat tidur seperti itu. Benakku pun mentertawai kondisi diri sendiri,

“Nah lu mau nempel foto siapa? keluarga? Ibu? atau siapa?”.
“Foto orang yang kuingini”. Aku membela diri sendiri. “Aku ingin fotonya, foto yang baru saja memberi warna hari-hariku”.

“Aha … pacar maksudmu?”, suara yang mengejek tadi kembali tanya.
“Orang yang kuingini !!!” pacar ??? tidak secepat itu statusnya, tidak secepat itu yang kurasa”. Orang yang kuingini itu orang yang telah berhasil memberi warna dengan sikapnya yang mau mendengarku. Orang itu bahkan memberi kepercayaan padaku sebagai teman curhat. Kamu mungkin tidak tahu beberapa waktu silam aku selalu meluangkan waktu untuknya. Memberi jawaban setiap kali pertanyaan ia ajukan. Aku tidak pelit untuk sekedar memberi informasi baik itu pekerjaan maupun dunia seperti kapal ini. Dunia yang dapat merenggut seseorang dari seseorang. Dunia yang akan merentangkan jarak. Dunia yang di dalamnya berisi segudang fenomena yang andai tidak hati-hati hanya akan menyeret ke arus bawah, kehidupan glamour dan budaya barat yang kompleks. Dunia yang ternyata hanya memiliki ruangan terbaik namun kecil tertutup korden untuk orang yang ingin mengadukan diri atas kepenatan”. Demikian maksudku menjelaskan.


Malam itu seperti biasa aku rebah dalam kondisi seperti orang pesakitan. Mungkin tempat tidur di atasku itu berisi orang yang sama. Apa yang tengah dipikirkan saja yang tak sama. Aku yakin bahwa orang yang di atas tempat tidurku itu sedang mengadu, sedang berkomat-kamit meminta sesuatu yang lebih baik daripada situasi saat ini pada Tuhannya. Di antara kami setiap kali mau beranjak tidur hanya ada sedikit obrolan tetapi tidak berhadapan. Masing-masing dari kami berada di tempat tidurnya masing-masing. Masing-masing dari kami dengan kesukaannya yaitu kamar bercahaya redup sewaktu mau tidur. Waktu menunjukkan pukul 3 pagi. Orang lain di kapal sudah pada pertengahan mimpinya. Aku baru saja selesai kerja jam 1 malam. Kebetulan pekerjaanku pada bagian shift malam. Entah sudah yang ke berapa kali aku dengan kibiasaanku mengotak atik notebook sambil tengkurap. Tetapi tidak malam itu. Aku hanya rebah dengan maksud mendapatkan energi yang lebih nyaman. Satu minggu di kapal badan masih belum terbiasa dengan rutinitas pekerjaan. Terutama kakiku. Kakiku sakit karena sepatu safety. Safety shoes yang ujung dalamnya terdapat besi pelindung sedikit lebih berat dari pada sepatu pada umumnya memang membuat kulit telapak kaki menebal. Biasanya tiga mingguan baru kondisi akan menjadi lebih baik.

“Menurutku kerja di kapal itu nggak terlalu berat-berat amat wan, pikiran yang berat”. Kata temanku pada suatu malam menjelang tidur. Hanya terdengar suaranya saja yang datar agak sedikit parau.

“Yang dirasa gimana mas”, suaraku berusaha menembus papan tempat tidur menuju padanya.

“Rutinitas pekerjaan itu hanya sekedar aktifitas yang tetap bisa dijalani, dan aku pikir pekerjaan di kapal siapapun bisa menjalani. Kalau dulu sewaktu di pendidikan perhotelan terbayang betapa sulitnya mengikuti standar pekerjaan di hotel berbintang lima, taunya pekerjaan itu bisa diikuti dalam masa sosialisasi yang tidak lebih dari dua jam. Masalah pikiran wan yang ternyata lepas dari pengamatan. Mungkin memang tidak bisa dijelaskan ya … karena kondisi itu hanya akan dapat dirasa justru ketika kita sudah berada di sini. Keberadaan yang jauh dari keluarga, dari orang terdekat yang dicintai menjadikan pikiran terkadang ngelantur dan berontak untuk tidak mau mengakui bahwa di sini itu kita harus survive. Inginnya segera kembali ke rumah, menikmati waktu bersama keluarga atau dengan orang yang dicintai. Satu hal lagi pikiran kita yang susah menerima keberadaan seperti sekarang ini karena ditambah tekanan manajemen untuk pencapaian target. Aku tahu bagaimana pun juga masalah pekerjaan tidak bisa disangkut pautkan, tetapi setidak-tidaknya menjadikan keruh hati”. Edy yang dengan kata-kata beruntun meluapkan unek-uneknya. Unek-unek itu ibarat beban yang ia jatuhkan dari tempat tidurnya ke bawah. Seperti bantal yang hampir tiap malam ia jatuhkan secara tidak disadari. Dan aku memungutnya lalu mengembalikan ke tempat tidurnya dengan sedikit menyingkap korden. Mungkin luapan pikiran temanku ibarat bantal yang jatuh. Setiap kali terjatuh ada lagi yang mengembalikan yang mau tidak mau harus ia kenakan lagi.

Begitulah malam itu obrolan kami hanya sampai disitu. Tidak ada ujungnya. Aku sendiri tidak ingat kapan obrolan itu berakhir sebab kami sudah dalam lelap yang tidak disengaja. Kami terlelap dalam pemikiran tentang keadaan hati kita masing-masing.

Pada dasarnya aku sudah pada kondisi yang sudah kutebak sebelumnya. Kehidupan di kapal akan seperti itu. Pengalaman kontrak pertama sudah menjadikanku biasa dengan keadaan. Aku sudah dengan persiapan untuk menjalani kontrak di Oosterdam. Hanya saja aku tak mempersiapkan pergi dengan meninggalkan seseorang yang sanggup mencuri hati. Inilah yang membedakan antara kontrak lalu dengan sekarang. Bagaimana aku menjalani kedepannya? Aku hanya bisa pasrah pada kehendak Yang Kuasa. Aku ikut dengan sistem alam yang telah diaturnya. Aku harus menyadarinya bahwa aku saat ini bukan untuk diri sendiri tetapi untuk sebuah perjuangan demi taraf hidup keluarga dan perjuangan mencari jati diri.

Cinta !!! … itu kata-kata yang sesaat aku dengar dari Lita beberapa waktu sebelum aku diberangkatkan ke kapal. Aku hanya sedikit bertukar pandangan tentangnya. Aku tak memahami makna yang terkandung, baik yang manjadi statemennya maupun apa yang aku coba ungkapkan. Yang kutangkap hanyalah beberapa ungkapan sedikit realita masa lalu. Masa di mana ia dalam keraguan atas sebuah hubungan dengan orang lain. Masa yang sempat ia ceritakan sebagai kenyataan yang membuatku ingin melengkapi kekuranganya. Kalau saat itu ia merasa ada yang menyakiti aku seperti ingin memberikan tindakan untuk menyembuhkan. Kalau ada hari-harinya yang membuatnya suntuk aku seolah ingin datang dan menghiburnya. Kalau ia mengagumi hal-hal indah aku ingin menyatakan bahwa semua itu tepat untuknya.

Apa yang aku ungkap kepadanya pun seperti tidak pernah sampai karena pada keadaan tertentu justru aku masih terlihat konyol. Pengakuanku ingin menyayanginya mungkin saja justru menambah beban baru baginya. Benarkah ia telah menutup hatinya untuk orang lain karena sebuah masa lalu?

Sejak hari itu aku mengaku bodoh untuk sebuah rasa baru yang makin hari makin tumbuh. Semakin kuingat dirinya semakin berkembang rasa baru itu. Dan saat ini tak ada tempat lain lagi kecuali tempat tidur B 130 yang menampung. Andai perasaan baru itu kucoba ungkapkan pada orang lain perasaan itu berbalik arah kembali padaku seperti juga cerita bantal rekanku.