Skip to content

Dunia Online

Aku seperti memaksakan diri untuk mengungkapkan cerita ini. Satu persatu apa yang menjadi perasaanku dikupas. Diceritakan lalu ditulis. Untuk apa? Membuat simpati orang lain? Komersial? Pertama yang menjadi pikiranku bahwa semua ini perlu dicurigai. Sebenarnya aku takut untuk keadaan seperti ini. Apa yang kutakutkan adalah bergesernya motivasi yang ingin berusaha jujur untuk berbagi. Mengapa berbagi? Sesuatu yang mendorong dari dalam. Ingin didengar, diperhatikan, ditumpahkan, dan sebagainya. Ia menuntutku. Tidak bisa aku tekan dan pendam begitu saja. Ia tak rela jika tidak ada karya yang dihasilkan dan harapannya tertelan masa begitu saja. Jika pada kondisi seperti ini aku hanya bisa menggapai notebook kesayangan yang dengannya aku diajak pergi untuk melihat sebuah dunia yang bebas untuk berekspresi. Dunia On Line. Sepertinya dunia on line yang memberi ruang untuk melihat keadaan lain di sudut bumi ini. Aku bisa melihat seseorang yang kuinginkan. Tidak seperti dunia di sini yang saat ini seolah menghimpit yang tak memberi kesempatan untuk melihat orang-orang pilihanku.

Jam 1.15 setelah dini hari. Aku bergegas pulang ke kamar yang menjadi rumah pribadi di dalam kapal ini. Orang melihatnya aku seperti sedang tergesa-gesa mengejar sesuatu. Tak ada kesempatan yang kuberikan kepada orang lain untuk menghentikan dan bertanya. Ya … aku bergegas ganti pakaian kerja lalu naik ke tempat tidur kemudian log in ke akun facebook. Dengan perasaan sedikit cemas, harap, dan senang aku mulai melihat template biru khas facebook. Di pojok kiri atas terlihat tanda baru messages dterima. Aku buka beberapa di antaranya.

“Hemm … aku mulai cemas. Jika orang melihatku aku akan tampak seperti sekoci kecil yang tengah dihempas ombak kesana kemari. Ia terlihat seperti dipermainkan oleh keadaan”. Demikian yang terpikir olehku. Dunia on line yang telah memberi warna pun pada waktu tertentu justru memberi kebimbangan. Ketika aku memberi suatu pesan untuk mengucapkan kata indah tentangnya … kata itu akan berbalik menjadi realita yang kalau dikonotasikan “siapa elu?”. Ketika aku memberanikan diri untuk menyatakan apa yang ada dihati … akan ada comment yang cukup bervariasi. “Kasihan dech lu” comment demikian yang paling banyak. Aku sadar pada saat seperti ini memang aku seperti seorang anak yang apabila bermain kelereng ingin paling menang. Inginnya seseorang harus bisa memberi reply yang sesuai dengan kehendakku. Tapi apa daya ketika maksud hati itu pada dasarnya susah mendapatkan tempat di luar hatiku sendiri.

Malam terus merayap menghampiri pagi. Untuk bermain di dunia on line aku harus menggunakan kartu internet. Kartu internet kapal seharga $40 hanya cukup untuk 460 menit. Kuhabiskannya untuk mencari sedikit kesenangan. Kurelakan untuk melihat comment yang sesungguhnya tentangku. Comment yang jujur. Apa yang kudapat dari semua itu selain evaluasi diri? Aku sendiri pun tidak tahu. Sebab hari ini aku tidak puas dengan reply yang kudapat. Besok lagi aku masih ingin mendapatkan reply yang berbeda. Mirip seperti anak kecil yang selalu mengharapkan menang dipermainan, padahal dia tak layak menang. Anak kecil itu hanya memiliki harapan. Ada kalanya aku juga seperti anak kecil dalam berfikir. Itulah aku hari ini.