“Malibu pineapple??? Bacardi Coce??? … nggak … nggak”. Kepalaku menggeleng. Mataku terlihat merah. Terlihat pada pantulan bayanganku sendiri di kaca jendela kapal. Kaca jendela yang kumaksud itu lubang jendela dengan kaca tembus pandang. Lalu menjadi seperti cermin sebab keadaan di luar gelap dan dari tempatku berdiri terang.
Jam 1.30 malam di tempat kerjaku sepi sekali. Dentuman musik R&B masih meninggalkan bekas suasana semangat pengunjung bar. Aku coba taruh lagu-lagu slow untuk mengiringi pekerjaan terakhir yaitu membersihkan area sekitar bar. Lagu itu mengganti musik R&B yang nyaris membuat telingaku pekak. Kini aku termangu di belakang bar counter sambil mata memilih-milih komposisi cocktail yang tepat. Ada keraguan untuk melakukannya. Suasana hatiku tidak menentu. Aku ingin teriak aku ingin memecahkan botol-botol yang kini tepat berada di depanku. Ada rasa yang membuat dada terasa sesak. Ada perasaan gemas. Aku melirik ke desktop sebelah locker minuman. Desktop tersebut hanya berfungsi sebagai billing system. Alat tersebut menggunakan sistem database Fidelio. Jika orang ingin belanja minuman di bar tinggal menyebutkan nama account dengannya aku charge. Mereka akan mendapat tagihan setiap minggu yang harus dibayar sebelum minggu berikutnya dimulai.
“Anjrit … sialan … goblok”. Suara itu muncul dari benak. Tak tahu ditujukan pada siapa sumpah serapah itu tetapi seperti tepat untuk diriku sendiri.
Terlihat Irwan menggapai botol Jagermeister. Kira-kira 3 sloki ia tuang ke dalam gelas model old fashion. Diraihnya gelas itu lalu digenggamnya. Ia tampak keluar dari counter bar lalu memilih tempat duduk di sudut bar. Irwan menikmati kesendirian. Raut mukanya menunjukkan ada beban yang tersembunyi. Pelan namun pasti minuman itu diteguk. Sejurus kemudian matanya terpejam seperti ingin menghilangkan sesuatu yang berada di otaknya. Ia tampak mengeluarkan notebook yang sedari tadi sudah ia siapkan. Tak berapa lama dia sudah on line dan ujung jarinya cekatan memainkan touch pad. Ia masuk ke dunia facebook. Baginya facebook adalah ruang bebasnya untuk memberi ekspresi. Beberapa kata yang sempat diketik ia hapus lagi. Ia tidak jadi meng-update statusnya. Ia dengan keraguan yang tak jelas. Sepertinya kata yang akan di share hanya akan menjadi feedback tidak enak.
“Aku muak dengan di sini. Aku ingin pulang … Aku ingin kembali ke belaian ibu yang mungkin bisa memberiku ketenangan …”.
Benar … kata itu yang kutulis dan kuhapus. Aku bersyukur kata itu tidak sampai menjadi statusku waktu itu. Kalau sampai itu ter upload mungkin aku semakin terlihat cengeng dengan kenyataan. Bagaimanapun juga aku dengan keterbatasanku sebagai manusia. Sebagai Irwan. Aku sadar aku masih labil dengan sebuah ujian yang mungkin bagi orang lain sepele. Semua itu hanya kupendam. Aku suntuk … aku butuh teman yang memberiku cinta … dan kasih … yang mau berbagi. Aku ingin dapat sedikit saja perhatian.
“Dibeli aja perhatian itu!”. Sebuah suara yang kukira berasal dari dunia maya ternyata bukan. Suara itu berasal dari dalam diriku lagi.
“Memang bisa? Aku minta perhatian yang tidak ada hubungannya dengan materi. Aku ingin perhatian itu muncul dari ketulusan. Kalau ada yang instan dan bisa dibeli aku tidak percaya semua itu akan membahagiakan”. Irwan mengomentari suara konyol itu. Tanganya hanya menggeser-geser cursor tapi tidak jelas tindakannya. Konsentrasinya pecah. Ia sedang perang batin. Ia berada di satu sisi lelaki yang terpojok.
“Heh … tunjukkan kalau begitu, perhatian yang bisa kubeli!”. Anjrit … sial … tanyaku lantang.
“Dimana-mana itu …!! perhatian yang tulus itu susah dicari kecuali kau hibur diri kau sendiri. Kau sendiri yang bisa menetralisir kegundahanmu”. Suara itu menerangkan pilihan.
“Ok … ok … inilah solusinya”. Irwan menenggak jagermeisternya kemudian gelas ia letakkan di counter dengan gerakan membanting.
“Oho … bukan seperti itu. Kalau pilihanmu kau lampiaskan kepada alkohol atau sesuatu yang lebih negatif justru kau akan lebih penasaran. Tidak akan ketemu … cukup tenangkan hatimu dengan mengakui kenyataan. Selami jiwamu sendiri. Ketenangan itu bisa kau dapatkan jika engkau bergerak mengikuti arus. Jangan melawan arus. Ibarat air dech. Ia akan mengikuti kemana aliran. Sekarang kau dalam situasi merantau … sekaligus kau membawa sebuah rasa baru yaitu cinta bukan? Ikutilah semua itu. Jangan kau lompati atau kau lawan arusnya. Tumbuhkan saja. Masalah dapat atau tidak itu nanti. Masalah diperhatikan itu nanti. Perjuangan saja belum ada kok sudah menuntut”. Suara itu justru menasehati.
“Tau ach gelap … aku juga nggak minta kalau aku bisa emosi seperti ini. Aku juga baru sadar kalau dia itu bisa juga membuatku emosi!!!”. Balasku. “Aku hanya ingin berbagi dengannya … itu saja”.
“Yeah … lagi … lagi kau menuntut. Kalau kau ingin dia itu mendengarmu ya bicaralah! Tidak ada yang tidak fair, mind set mu saja yang harus dirubah. Positive Thingking lah. Jangan menganggap orang lain itu harus menuruti kehendakmu tetapi kaulah yang harus menyesuaikan. Tekanlah keinginanmu! Justru kau akan dihantarkan pada bahagia yang sesungguhnya.
“Anjrit … sial … pergi sana …!”. Terlihat perang batin itu seperti tidak berkesudahan. Tiba-tiba rona wajah Irwan berubah dan senyum tampak pada wajahnya ketika satu pesan di facebook baru muncul.
“Where re u now ka?”
sebuah pesan dari Lita yang akhirnya sanggup mencairkan kegelisahan. Sedikit perhatiannya ternyata membuat malam ini jadi easy.