Aku terlalu lelah untuk mendengar pembicaraan teman-teman yang saat itu tengah ngumpul di kamarku sejak sore. Aku sampai di kamar jam 1.30 malam. Kedatanganku terlambat untuk sekedar ikut nimbrung dalam obrolan. Hanya sapaan bernada basa-basi yang bisa mereka ucapkan begitu aku masuk ke kamar.
“Hei bro, baru klar nich?”, ucap salah satu dari mereka yang saat itu juga semua terdiam menghentikan canda tawa yang sebelumnya sempat kudengar.
“Iya … agak rame tadi, tumben biasanya menjelang last call pengunjung bar sepi”. Ucapku basa-basi pula. Aku segera merenggut handuk yang tergantung di depan lemari yang gantungannya terbuat dari hanger kawat. “Sory, aku mandi dulu ya”. Sambil melangkahi ruang kosong di tengah ke empat orang tadi aku mohon diri.
“Yoi … bro, kita enjoy sebentar di sini ya, tadi Edy ngajak begadang kita sich”. Terdengar suara rekan yang lain. Ia mencoba menjelaskan sedikit detail keberadaan disitu cuma untuk menghindari rasa tidak enak karena kamar sudah dipakai buat ajang nongkrong. Aku cukup menghargai perasaannya yang tak enak atas kedatanganku sebagai pemilik kamar.
“No problem bro, have fun”, Jawabku sambil tangan memberi isyarat mempersilahkan. Lalu aku masuk ke kamar mandi yang hanya berada di samping kamar.
Air hangat shower memberi sentuhan yang membuat tubuhku lebih nyaman. Semprotan air kusetel model satu titik sehingga ketika air mengenai badan kurasakan seperti terjadi pijitan teknik shiatsu. Sehabis seharian kerja pilihan mandi air yang sedikit panas terkadang menjadi hal yang menyenangkan. Hal itu bisa sedikit menenangkan suasana hati kesal dengan suasana pekerjaan. Aku kedapatan bekerja di bagian bar yang diperuntukkan untuk crew. Tiap hari aku dihadapkan pada kenyataan untuk memberi service, menjual produk bar yang sudah ditentukan perusahaan, serta pekerjaan tambahan yaitu mendengarkan mereka yang datang. Sebagai bartender dituntut harus bisa menjadi seperti bapak untuk anak-anaknya. Semua pengunjung ibarat seperti anak-anak yang setiap kali ingin diperhatikan, ingin didengar keluh kesahnya dan ingin mendapatkan sesuatu yang dapat menghiburnya. Malam ini aku bisa mendapatkan keluhan tentang seseorang yang dirundung susah karena faktor komplen dari tamu, malam berikutnya aku mendapati orang-orang yang lepas kontrol untuk menuruti jiwa berontak yang munculnya karena pengaruh alkohol, dan aku harus menggertak keras orang-orang yang kelakuannya mengganggu pengunjung yang lain. Pada kesempatan yang lain aku harus menahan emosi kepada pengunjung yang tiap kali minum inginnya ditraktir temannya. Kemudian sebagai seorang bartender aku harus bisa menjaga rahasia ketika malam yang lalu si A dan Si B telah having fun dan spending the night together. Kemudian aku harus rela memberi hiburan atau nasehat ketika pengunjung datang dengan suasana hati yang suntuk, atau sekedar memilihkan musik. Disinilah letak sisi manusiawiku yang berbeda dengan orang lain. Aku harus bisa mengorbankan perasaanku sendiri untuk orang lain. Bisa saja aku berperangai konyol membuat suasana bar tidak nyaman, tetapi hal itu justru akan membuat orang sakit hati lebih banyak.
Last call merupakan panggilan terakhir untuk order minuman di bar. Sepuluh menit sebelum tutup biasanya aku sudah teriakkan kata-kata itu. Mereka akan serentak antri untuk mendapatkan minuman terakhirnya malam itu. Seolah-olah sudah tidak akan dijumpainya lagi malam yang lain. Itulah dunia mereka dalam pandanganku. Dunia yang dia butuhkan untuk mencari fantasi dan sensasi ujung hari. Dan hari itu aku benar-benar lelah dengan kelakuan mereka. Kelakuan yang tak peduli bahwa di belakang bar counter sang bartender dengan perasaannya yang tak pasti akan sebuah harapan. Semua itu hanya tersimpan dan tak kuasa untuk dibagikan karena harapan yang tak pasti itu adalah pendambaan seseorang di jauh sana.
Malam tadi bar sepi. Baru pada menit terakhir justru orang serentak memenuhi kursi-kursi yang berjejer di depan counter. Aku sempat membuat sebuah coretan sederhana di balik kertas bekas bar bill sebelum mereka datang.
Lita … akankah aku dikuasakan kemampuan untuk lebih mengenalmu?
Akankah aku juga akan bimbang sepertimu dengan segala yang cepat ini?
Akankah diri ini terus kubohongi tentangmu?
Semua di luar nalar …
Aku takut untuk semakin disalahkan oleh diriku sendiri dan juga yang lain
Sedang kata terus terang cinta hanya terlihat bodoh dan konyol untuk status facebookku …
Namun demikian kucoba hibur diri …
Bahwa kesempatan itu bukanlah tujuanku …
Tetapi memberanikan diri untuk ungkapkan itulah sejatinya …
Itulah kelelahan hari itu. Ungkapan isi hati yang tiba-tiba terhenti oleh aktifitas pokok bar. Aktifitas yang mengharuskanku tampil perdana di malam itu untuk orang lain. Orang-orang yang baru datang di menit terakhir tetap anak-anak yang mengharapkan bapaknya memberi yang terbaik. Anak-anak yang tak begitu memikirkan beban apa yang sebenarnya diderita sang bapak. Itulah kelelahan yang dengan air shower kucoba hilangkan. Harapanku satu … aku ingin lebih segar untuk hadapi hari esok dan menghadapi lagi apa yang menjadi cita dan cintaku.