Matahari merangkak ke sore hari di Venice. Warna keemasannya menerangi penjuru kota. Sejenak aku berdiri di depan The Grand Canal Hotel. Kuperhatikan rakit ala Venice atau yang disebut sebagai gondola beraneka warna dan bentuk berbaur dengan water taxi. Seperti ada dua konsep pemandangan yang dipadu. Satu sisi terlihat klasik satu sisi terlihat sangat modern. Gondola didayung pasti sesekali mengejar rakit bermotor yang hendak menurunkan penumpang lalu beberapa rakit bermotor melewatinya lagi. Venice mempunyai canal atau sungai yang berjumlah kurang lebih seratus lima puluhan dan jembatan yang dibangun mencapai empat ratusan buah. Aku berjalan santai menyusuri pinggir canal. Bayanganku tentang orang bule yang memiliki ukuran tubuh besar-besar ternyata keliru. Nyatanya ketika berbaur dengan mereka banyak juga tubuh-tubuh ukuran sedang dan kecil.
Sore itu aku tidak ingin menikmati perjalanan air. Minggu sebelumnya aku sudah puas dengan water taxi. Waktu itu aku hanya membayar enam euro. Niat dari awal memang ingin berjalan santai. Aku berusaha memisahkan diri dari keramaian. Usaha itu gagal karena saking banyaknya orang. Canal itu sudah dengan aktifitasnya sejak ratusan silam. Bangunan-bangunan yang memagari jalur sungai entah sejak kapan telah berdiri. Setelah beberapa menit menyusuri kembali pinggiran sungai aku berhenti lagi di depan bangunan tembok besar dengan pintu gerbang warna abu-abu. Pada tembok tersebut terdapat papan bertuliskan “Fundamento Del Monastero, yang jelas bukan “awas ada anjing galak”. Kalau tulisan “awas ada anjing galak” menurutku hanya ada di daerah yang orangnya masih sering diliputi rasa curiga ke orang lain. Kalau di Venice ini tampak raut orang setempat yang tak ada curiga sama sekali. Mereka sangat “welcome”. Mungkin itu suatu sikap untuk memberi sambutan kepadaku atau kepada siapa saja yang saat itu hendak menikmati indahnya suasana. Aku dengan langkah kecil dan ringan meskipun ada tas punggung yang sedikit berat. Tas itu berisi botol minuman ukuran 250ml jenis vitamin water revive dan roti jenis croissant sebagai bekal menunggu buka puasa. Waktu itu pertengahan bulan puasa 2010. Untuk buka puasa aku hanya berpatok pada alam Venice yang pada jam 20.10 langit baru saja gelap. Tidak ada tanda buka puasa yang dapat kuikuti selain itu. Tidak ada suara adzan magrib.
Di sebuah taman sebelah kanan hotel Bellini aku memilih bangku dari batu semacam marmer untuk tempat duduk. Tempat itu yang paling nyaman yang juga mas Edy setujui. Mas Edy memang menjadi temanku sejak tadi. Dia tidak ubahnya sepertiku yang sepanjang jalan ingin difoto. Dia sobat yang unik yang selama di kapal lebih banyak mendengar keluh kesahku meskipun dia sendiri juga memiliki beban tersendiri. Satu hal yang membedakan antara aku dan dia yaitu masalah status. Dia sudah berkeluarga dengan dua orang anak. Off course satu istri sedangkan aku masih single dan offcourse belum tahu pacarnya. Cara berfikir kami sangat beda. Mas Edy lebih bijak daripada aku. Dan aku punya kesempatan untuk lebih banyak belajar tentang banyak hal padanya.
“Mas pasangan bule itu kalau lagi pacaran cuek gitu ya”. Kataku sambil mataku memberi kode kepada mas Edy untuk melihat pemandangan di sudut taman yang lain. Kebetulan ada sepasang muda-mudi yang tengah duduk di bangku seperti tempatku duduk tepat di depanku tapi agak jauh. Sang cowok sedang memangku ceweknya dengan canda tawanya yang tak terusik dengan orang lain di situ.
“Yeahh … kalau orang sini jangan dibahas lah, pusing sendiri mending sampean lihat aja”. Mas Edy menjawab sekenanya sambil menikmati roti yang tinggal setengah karena sudah sejak lalu ia mulai membatalkan puasanya. Aku hanya tersenyum konyol kepada mas Edy.
“Iri aku mas melihatnya”. Aku mengulang bicara sambil bertambah rasa penasaran. Membayangkan bagaimana aku benar-benar punya pacar. Apakah juga akan seperti mereka yang menganggap orang disekitarnya itu patung.
“Benar nggak sich mas, kalau orang lagi pacaran itu merasa dunia milik mereka berdua, kok sampai orang lain itu seperti nggak dianggap ada?”. Memang pertanyaan ini konyol tapi justru itulah yang membuatku ingin lebih tahu.
“Menurutku bukan mereka nggak tahu bro, juga bukan karena menganggap orang lain di sekitar itu tidak ada. Matanya bisa saja melihat, hatinya bisa saja merasa tapi nafsunya itu bro yang membuatnya begitu. Itu menurutku lho bro”. Kata itu diucapkan mas Edy dengan tanpa ekspresi.
“Dulu mas juga begitu nggak waktu pacaran?”. Aku mulai iseng menanyakan keadaan mas Edy.
“Nah … kalau aku dulu beda, aku itu nggak pakai nafsu bro, tapi dikit, nekatnya yang banyak … he he he he”. Sambil membakar rokok kesayanganya mas Edy mulai membanyol. Dikeluarkanya satu batang rokok lagi lalu disodorkannya padaku.
“Thanks, ini aku ada”. Aku juga nggak mau ketinggalan menyalakan rokok sebelum korek yang dipegang mas Edy padam.
“Sampean serius mas sama itu … e … Lita?”. Pertanyaan mas Edy sama sekali tidak kuduga. Disebut namanya juga aku malah gelagapan untuk menjawabnya.
“Lho … kok malah nanya mas!!!, belum juga cerita bagaimana mas nekat waktu pacaran”. Aku membela diri sebagai ganti tidak ingin bercerita banyak, karena merasa nggak ada yang perlu untuk diceritakan. Dalam hati aku berfikir “Ya … aku ingin serius tetapi bingung mau kumulai dari mana sebab sejauh ini aku belum tahu apakah pertemuan yang sekali itu sudah bisa dikatakan kenal.
“Bingung mas !!! sepertinya mas sudah tahu juga kan kalau pertemuanku sama dia itu baru sekali. Jujur nich mas, kadang aku menyalahkan keadaan. Kesempatanku untuk bertatap muka demikian cepat karena buru-buru aku berangkat ke sini”.
“Sampean ini bro … bro, mbok yang disalahkan itu dia atau kamu sendiri, jangan keadaan! Kenapa juga sampean tertarik sama dia? Kenapa dia itu menarik buat sampean?”. Sengaja mas Edy ingin menghentikan obrolan semacam ini, makanya omongannya bernada menyadarkan.
“Iya juga sich mas. Memang semua itu muncul dari dalam diriku. Itu kuakui dech. Kalau dia mampu membuatku menarik itu sebenarnya sederhana mas. Pertama dia itu cewek”.
“Lha iyalah, masak sampean mo suka sama cowok, kayak cica yang dikapal aja”. Mas Edy memotong. Cica adalah laki-laki yang suka sama sesama jenis.
“Kedua karena dia cantik menurut seleraku. Alasan berikutnya setelah bertukar nomor hp dan seringkali tanya jawab dan sedikit curhat tentang diri kita masing-masing aku merasakan dia itu seperti cocok menjadi partnerku berbagi mas. Alasan yang lain nggak tahu sich mas … pokoknya tahu … tahu … aku suka aja”. Alasan semua itu kuungkap apa adanya.
“Ok bro … bercanda nich. Menurutmu sejauh ini yang paling romantis di dia itu yang mana sich?”. Tanya mas Edy penasaran disertai dengan gaya khasnya ngebanyol.
“Malu mas ngomongnya”.
“Walah … sampean ini kok masih punya malu lho”. Sambil senyam senyum mas Edy berkata.
“Waktu pertemuan pertama di den haag café mas. Dia antusias bertanya tentang pengalamanku. Trus bagian yang paling romantis adalah di saat ia menggeser tempat duduknya sedikit lebih mendekat ke arahku mas. Aku merasa adem he he he … lantas ada juga bagian yang lain yaitu di saat ia memberikan nomor telpon trus dengan kata-katanya “keep in touch ya ka”.
“Ha … ha … ha …”. Akhirnya aku baru dapatkan kesimpulan bener bro. Lengkap sudah survey ku. Bahwa cinta itu memang membuat orang pandai jadi bodoh … ha … ha … ha … wan … wan … sampean ini kok nggak mutu itu dulunya gimana”. Mas Edy terpingkal dengan statemen nya sendiri. Dihisapnya rokok kesukaanya itu dan ia tetap terpingkal tak serius.
“Sialan … kena gw”. “Tapi aku setuju mas … cinta itu memang membuat orang pandai jadi bodoh, tetapi yang satu ini beda mas, cinta membuat orang bodoh jadi semakin tidak mengerti he he he …”. Habis berkata aku tersenyum menyeriangi.
Sore yang indah ternyata begitu saja berlalu. Sangat cepat sekali. Obrolan yang tidak panjang seperti tadi masih kalah cepat daripada waktu sorenya Venice yang baru saja berlalu. Perasaan aku baru saja mengambil gambar di jembatan depan hotel Benilli terus duduk ditaman tahu-tahu kota sudah berubah gelap. Momen yang indah itu ternyata berlalu sangat cepat. Seperti juga perjumpaanku dengan Lita di Indonesia waktu dulu. Itu menjadi momen indah tercepat tahun kemarin di Indonesia.
“I miss you Lita”. Batinku berucap sambil mengiringi langkah kami meninggalkan taman tersebut untuk kembali menuju kapal.