fbpx
Skip to content

Unek-Unek Atas Laut

Kalau saat ini yang kupikirkan adalah diriku sendiri mungkin aku sudah akan pulang dan menghabiskan waktu tiduran di kamarku di rumah. Untuk memikirkan diri sendiri kadang aku bisa saja lebih konyol daripada itu. Prinsip sederhana kalau cuma untuk memikirkan diri sendiri bisa saja “yang penting ada rokok dan makan ya sudah”. Aku bersyukur sekali ternyata Tuhan memberiku pikiran yang makin lama makin bisa dewasa. Tadinya aku hanya memikirkan diri sendiri tapi makin lama aku diberi anugrah yang lain yaitu kemampuan untuk mewujudkan cita-cita orang tua termasuk cita-cita diri sendiri.

Memang pada akhirnya semua itu aku kembalikan lagi kepada kenyataan bahwa semaksimal apapun usaha kita sebagai manusia tetap memiliki keterbatasan. Tetapi setidak-tidaknya manusia diberi kesempatan untuk memberikan yang terbaik.

Aku dibesarkan oleh kedua orang tua dengan keadaan ayahku sendiri seorang koki diperusahaan pelayaran luar negeri. Yeah … dengan kata lain juga seorang pelaut sepertiku. Mungkin beliau juga nggak mau dikatakan sebagai pelaut. Mungkin memilih kata bahwa ia orang hotelier. Bagi ibuku hotelier atau pelayaran atau apa saja baginya ayah dan aku hanyalah seorang perantau. Ibuku sebagai ibu rumah tangga biasa. Keempat saudaraku adalah laki-laki semua hanya satu yaitu adikku kandung pas telah lebih dulu meninggalkan dunia. Tidak ada yang lebih untuk diceritakan. Tidak begitu spesial untuk menjadi ungkapan yang menimbulkan orang simpatik. Lagian aku tidak ingin orang memberi sesuatu atau perhatian padaku karena rasa simpatiknya karena masa laluku yang pahit atau semacamnya. Aku sangat menginginkan sebuah penghargaan atau perhatian itu hadir dengan ketulusan atau berdasarkan perjuanganku. Jujur saja aku tumbuh di keluarga yang sejarahnya seperti tidak ingin kuulangi. Ayah yang bekerja sebagai koki di perusahaan kapal asing menjadikan aku jarang ketemu dengannya sewaktu kecil. Bahkan sampai sekarangpun bisa dikatakan seperti main petak umpet. Ketika aku pulang ayah berangkat ke kapal. Ketika ayah pulang aku di kapal. Aku selalu berharap semoga di antara kami atau dua-duanya akan bisa survive di darat sehingga dapat menemani ibu yang mungkin saja ibu sudah lelah dengan statusnya single fighter at home. Aku mulai memahami apa itu perjuangan justru sewaktu aku sudah harus dituntut untuk mandiri. Akhirnya aku tidak lagi mempermasalahkan masa kecilku yang takut untuk menyebut nama “ayah” hanya karena jarang ketemu denganya. Aku tahu bahwa ayah itu dengan pengorbanannya untuk menghidupi keluarga. Memintarkan anak-anaknya. Itulah perjuangan dan pengorbanan yang telah beliau lakukan.

Hari ini aku dalam kontrak untuk mengabdikan diriku dalam pengorbanan itu sendiri. Aku memberi semangat atas diriku untuk membuktikan bahwa aku bisa seperti yang diharap oleh ibuku yaitu mandiri. Tetapi hari ini ada sesuatu yang ingin kuungkap. Dalam cerita ini aku tak menyesal jika ungkapan ini hanya akan menjadi bahan tertawaan, atau sesuatu yang bersifat menyepelekan. Hari ini aku yakin bahwa pengorbanan itu tidak pernah akan sia-sia.

Hari ini genap sepuluh bulan aku di kapal. Tidak ada penyesalan untuknya. Hari ini aku ditengah laut. Hari ini aku di atas kapal dan terombang-ambing ombak dan berusaha menuju ke daratan. Aku diberi pelajaran bahwa menuju daratan itu juga sebuah perjuangan. Menyelesaikan kontrak ini juga perjuangan. Mempersiapkan diri untuk menemui keluarga dan Lita di Indonesia juga perjuangan. Hari ini aku punya unek-unek. Hari ini aku juga manusia biasa yang ingin berbagi. Hari ini ada perasaan yang mungkin sama dirasa oleh ayahku sebelumnya. Rasa seorang perantau yang ingat penunggunya di rumah.