Ada suatu keterkaitan antara warna biru, Lita dan diriku yang ternyata susah untuk diterjamahkan dalam literatur maupun ilustrasi menarik. Apa yang kuusahakan untuk ditulis seperti dalam buku ini sebenarnya hanya memperindah ungkapan hati saja.
Menyusuri sudut kota, menangkap makna yang tersembunyi, melihat bayangan Lita, menyaksikan nikmat-Nya, merasakan perhatian orang lain, keresahan jiwa tatkala bersendiri, terpampangnya aib dan dosa saat ku bermunajad – semua itu menjadi satu. Seberapa erat kaitannya semua itu dengan diriku juga susah untuk kuterjemahkan sendiri. Kalaupun semua itu diusahakan diungkap dan ditulis hanya untuk memperjelas saja bahwasannya diri ini masih jauh dari sempurna.
Hari ini aku telah dengan kepastian pulang. Flight scedhule sudah aku terima. Segudang rencana kian bertambah justru saat kepulangan itu sudah di depan mata. Gerak naluri sang penunggu pun sudah hangat sambutannya sedang yang ditunggu belum mesti wujud. Hanya Allah yang tahu kesempatan selanjutnya apakah aku akan melihat warna biru yang nyata dan Lita yang sesungguhnya. Apakah aku akan selamat sampai disana … sekali lagi Allah Yang Maha Mengetahui.
Hari ini siang tak menampakkan mataharinya dengan penuh. Awan dingin bulan september menyelimuti Istanbul Turki dan sebentar kemudian mulai turun rintik hujan. Kapal tertambat di Istanbul di mana laut hitam atau black sea berada di samping kanan kapal. Terbentang kian luas sedang arah depan kapal nun jauh di sana terbentang pula laut Aegean. Berkali-kali kapal berkunjung ke sini hanya baru kali ini aku menyempatkan diri untuk keluar. Itupun menunggu malam tiba sekalian aku selesaikan pekerjaan terakhirku. Aku berlari kecil dari tenda pemberhentian depan kapal menuju ke pintu keluar penjagaan pelabuhan hanya untuk meminimalis pakaian agar tidak basah lebih dulu. Kira-kira empat ratusan meter dari arah gangway kapal taksi sudah menunggu.
“Berapa untuk menuju ke Blue Mosqoue?”, tanyaku pada sopir taksi dengan bahasa Inggris. Ia menjawab sepuluh Euro. Sopir membawaku ke dekat Blue Mosqoue hanya saja sampai di depannya hujan bertambah lebat. Kameraku tidak bisa menangkap jelas masjid biru karena pengaruh derasnya air hujan. Tetapi dokumentasi itu tetap bisa terambil meskipun tidak begitu jelas gambarnya.
“Kenapa tidak ke night club?”, Tanya si sopir taksi padaku.
“Tidak aku mau melihat blue mosqoue”. Jawabku. Lagi-lagi aku kesal dengan stigma pelaut jika keluar kapal yang ditawarkan hiburan dan wanita.
Dengan taksi aku melanjutkan untuk mencari makan. Kebab restoran yang menjadi tujuan. Dari balik kaca mobil terlihat air hujan yang tidak lagi deras begitu menawan terkena sorotan lampu kota. Aku suka dengan rintik hujan di waktu malam. Titik-titik air hujan yang mengenai kaca mobil pun sama dengan air hujan di Bogor. Ia seperti pecahan-pecahan molekul yang berusaha membentuk diamon tetapi sebentar kemudian buyar dan tidak jadi.
Jam digital di stereo mobil dekat dengan perangkat argo menunjukkan angka 02.00 dengan tanggal 30 september.
Teringat tanggal itu aku tertuju pada sebuah pesan pendek di akun facebookku dari Lita. “just wake me up when september end!”. Sebelumnya aku merencanakan untuk datang padanya akhir september tetapi apa daya kepulanganku jatuh pada tanggal 6 bulan oktober. Proses yang tak kumengerti tentang semua ini. Pesannya “wake me up when september end” terkias dalam sekali. Aku mencoba untuk melihat makna sesungguhnya. Jika saja malam ini masjid biru itu tidak ditutup Ya … Allah ingin sekali aku memasukinya untuk bisa bersujud. Untuk memantabkan hatiku pada kiasan-kiasan yang amat membingunkan ini.
September telah berakhir…
Maaf Lita … aku belum bisa hadir …
Namun kusuruh rasa cinta ini …
Untuk datang membangunkanmu …
Sedang di sini aku hanya mampu melihat rintik hujan Istanbul Turki …
Tanpa bisa menuruti pesanmu …
To wake you up when september end …