Keep in touch aja

Sekawanan burung laut yang tak kukenal nama jenisnya melayang meniti angin bergerak kian kemari mengikuti laju kapal. Sesekali merendah mendekati buih putih air laut yang timbul karena pengaruh propheller. Langit cerah. Matahari bersinar terik. Andai bukan di tengah laut udara mungkin tak sesegar ini. Kapal Oosterdam tidak berbeda jauh dengan kapal jenis kelas vista lainnya. Ia termasuk salah satu dari keempat belas kapal Holland America Line. Jika dilihat dari luar kapal tampak berwarna biru di bawah dan putih di atasnya. Jumlah penumpang kapal kelas vista kurang lebih 2.500 an orang termasuk crew nya. Beberapa menit sebelumnya, Oosterdam berlalu meninggalkan dermaga San Diego – California. Kira-kira 7 knot kecepatan kapal. Laju kapal ke tengah laut hanya diiringi sekawanan burung-burung tadi. Nampaknya buih-buih putih di belakang kapal itu yang menarik perhatian burung. “Akankah ada makanan di balik buih putih itu?”, jelas segala sesuatu telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Rejeki setiap makhluk dijamin oleh Allah.

Kontrak kedua ini aku masih menyisakan rasa berat untuk meninggalkan Indonesia. “Pihak agen yaitu SBI terlalu cepat menyuruhku sign on”. Kekesalanku pada SBI mengawali langkah ketika mau menerima paspor dan tiket pesawat cathay pacific. Perjalanan yang melelahkan badan. Dari bandara Soekarno Hatta menuju LA harus kutempuh sebagai wujud kepatuhanku untuk menjadi karyawan Holland America Line. Untung saja penerbangan tidak langsung satu tujuan melainkan dua kali transit sehingga masih ada variasi dalam perjalanan. Berangkat dari bandara Soekarno Hatta transit di Hongkong kemudian dilanjut ke LA. Tiba di LA menginap di hotel Ramada baru paginya dijemput untuk masuk ke Oosterdam yang sedang berlabuh di San Diego. Perjalanan dari LA ke San Diego ditempuh 4 jam menggunakan bus.

Berlalunya kapal dari dermaga San Diego kali ini awal dari perjalanan baru sekaligus kontrak baru. Akan ada rutinitas lama yang terulang. Semua sudah di depan mata. Aku menempatkan beberapa alasan hingga aku terproses demikian. Pertama tetap pada alasan klasik bahwa di Oosterdam ini aku bekerja untuk mencari uang sebagai modal untuk mimpiku yang lain, kedua mengikuti irama tanggung jawab di keluarga. Bagi keluargaku aku harus bisa memaksimalkan kesempatan dalam menghasilkan materi di pekerjaan ini walaupun pada akhirnya keluargaku menerima aku dan karyaku apapun adanya.

Satu sisi ada ganjalan yang masih belum terperikan bahwa aku masih ingin bisa melihatnya sekali lagi. Seseorang yang masih membekas dalam ingatanku dan terbawa sampai ke dalam Oosterdam ini. Seseorang yang tiba-tiba saja memberi warna hari-hari liburan kemarin. Seseorang itu adalah Lita. Memang sangat konyol untuk mengakui bahwa aku mempunyai rasa suka padanya.

Angin laut berhembus sedikit kencang. Ombak terbelah terkena badan kapal. Deburan ombak yang spontan tercipta dari laju kapal terdengar rendah mengimbangi deru mesin kapal itu sendiri. Helaan nafas Irwan yang berkali-kali menciptakan suasana pribadi untuk mencari keselarasan. Perpaduan angin laut, suara deburan ombak, deru mesin kapal serta helaan nafas tersebut seolah menjadi harmoni sore itu bagi Oosterdam. Sengaja Irwan naik ke deck 3 atau dengan istilah lain promenade deck untuk melihat daratan San Diego yang akan ditinggal. Tiga puluh menit lalu usai sudah pekerjaan shift ke 2 hari itu. Seperti ada yang mau dicari selain melihat daratan yang ditinggal. Mungkin mengharap adanya suasana selingan yang lebih renyah dan ringan. Irwan bergegas mengeluarkan iphone dari kantongnya. Tangannya cekatan membuka messages yang terdapat sederet nama pengirim. Seperti ada yang dipilah pilih dan tampak ekspresi yang tak jelas namun sedikit menandakan bahwa ia hanya teringat oleh seseorang dan ingin membaca kembali sebuah pesan yang sempat dikirim olehnya. “hati-hati di perjalanan ya ka!”. Sejenak Irwan melayangkan pandangannya ke depan. Tak ada yang dituju pada pandangan matanya, tetapi hatinya yang mantap menatap arah depan yang seolah ada harapan untuk menuju ke sana. Tangan kirinya yang sedari tadi menempel di hand railing terangkat kemudian diayunkan kebawah sambil jari-jarinya menggenggam pasti. Gerakan tangan itu seperti mengiringi sebuah keputusan baru yang muncul.

“Lita, aku tersanjung untuk mendapat kesempatan mendengarmu, dan aku berterima kasih selama ini engkau pun telah mendengar bagaimana keadaanku sebenarnya, Ok aku akan selalu keep in touch denganmu. Aku akan terus menghubungimu meski sekarang terentang jarak yang demikian jauh, semoga Tuhan selalu memberi kesempatan pada kita untuk tetap berkomunikasi”. Demikian Irwan mendengar sesuatu dari hatinya sendiri.