Kota Bogor terlihat padat apalagi jalanan. Pada jam berangkat kantor atau jam pulang kantor kendaraan mirip semut bertebaran. Situasi paling tidak kusukai ketika lagi enak-enaknya jalan di trotoar adanya kendaraan roda dua yang nyelonong menggunakan lajur yang sebenarnya khusus pedestrian. Mungkin maksud mereka untuk menghindari macet pada jalanan utama. Dengan mengambil jalan pintas menurutnya akan segera sampai tujuan. Tindakan yang demikian yang tentunya menjadi nilai kesadaran hukum rendah. Masing-masing mementingkan dirinya sendiri. Tidak ada pemberian kesempatan kepada yang lain. Aku mencoba flash back bagaimana kunikmati jalanan di negara orang lain. Seketika pejalan kaki mau menyeberang jalan secara otomatis kendaraan akan mengalah memberi kesempatan. Kendaraan akan menunggu sampai si pejalan benar-benar telah berlalu. Sebuah sikap yang sangat perfect menurutku.
Aku ingat bagaimana situasi konyol ketika harus beradaptasi dengan lain budaya. Frame ku sebagai orang Indonesia ketika menyeberang jalan adalah menunggu kendaraan lewat makanya ketika berada di peradaban seperti Amerika apa yang terjadi aku menunggu mobil lewat sedangkan mobil tersebut juga menungguku untuk menyeberang. Nah yang jadi masalah ketika aku sudah di kota sendiri seperti ini. Terpaksa harus ada penyesuaian lagi dalam hal menyeberang sebab aku tidak mau mati konyol gara-gara kendaraan yang pengemudinya edan-edanan.
Siang hari Bogor juga panas bukan main. Istilah kota hujan untuk Bogor menurutku bukan hujan air tetapi hujan sinar ultra violet yang dapat membakar kulit. Siang itu terlihat penjaja koran dan beberapa asongan yang lain menawarkan dagangannya. Begitu rambu lalu lintas berwarna merah mereka seperti dikomando untuk segera mendekat ke mobil-mobil untuk target marketingnya hari itu. Trotoar yang kulewati itupun tampak penuh dengan tenda-tenda kaki lima. Jadi aku harus berusaha mencari posisi terbaik agar tidak terhimpit antara tenda dengan kendaraan roda dua yang terkadang nyelonong naik ke trotoar.
Aku mencoba untuk berhenti sebentar di penjual minuman dingin. Minuman itu hanya ditempatkan di sebuah kotak cambro dengan es batu sebagai pendingin. Udara yang sedikit enak untuk sejenak beristirahat dan menikmati pemandangan 360 derajat berkebalikan dengan suasana depan hard rock café Barcelona. Aku duduk di sebuah papan yang disediakan oleh si penjual minuman.
“Pak … Pocari Sweat kaleng donk, terima kasih!”. Ucapku pada si penjual minuman itu. Aku salut dengan laki-laki tua yang kaosnya bertuliskan FBI yang tak lain adalah si penjual minuman.
“FBI kalau di Indonesia ternyata hanya jualan minuman dingin di pinggir jalan”, pikiran konyol dalam hatiku. Si penjual itu seperti sudah bersatu dengan alam. Ia tidak terlihat sumpek atau muak dengan suasana. Memang tempatku duduk dan sekitarnya tampak lebih rindang dan angin segar masih bersemilir. Aku berada di bawah pohon akasia besar. Akasia itu mungkin salah satu pohon yang berhasil di tanam oleh program sejuta pohon jaman Pak Harto dulu. Ternyata program itu sangat bermanfaat sekali. Dan akupun menikmatinya.
“Pak, ada pulsa XL nggak?”, tanyaku menyela setelah satu tegukan pocari sweat itu berhasil meringankan dahaga hausku.
“Ada mas, yang berapaan?”, pak FBI itu balik bertanya.
“Yang seratus ribu aja”. Jawabku singkat. Memang sejak pertemuan dengan Lita beberapa waktu lalu menjadikan konsumsi pulsa meningkat. Ada semacam kegiatan yang membuat sedikit orang iri. Aku terlihat sibuk menjawab SMS dan telepon. Aku cukup menghargai teman-temanku di rumah dengan persepsinya bahwa orang punya uang banyak atau relasi banyak itu akan sibuk. Mentang-mentang aku pulang dari kapal mereka menganggapku begitu. Sebentar-sebentar telepon berdering, lalu nada penerima pesan bunyi. Begitulah terkadang kelihatan sibuk itu juga dapat mengusik kenyamanan sekitar. Waktu-waktuku liburan dari kapal dengan teman di rumah atau dengan semua isi keluarga menjadi seperti terenggut. Ada yang merasa telahku lupakan. Ada yang merasa “wah sekarang Irwan sombong setelah jadi orang berduit sampai-sampai kita-kita gak diajak main”. Masih banyak lagi statemen yang bernada tidak puas. Dalam hati kadang aku berfikir bahwa memang tidak selamanya kita akan kumpul pada sebuah sosial itu-itu terus. Terkadang harus ada perubahan untuk lebih banyak bergaul dengan sosial yang lain. Ketika dunia pekerjaan atau bisnis telah ditekuni satu persatu relasi akan bertambah. Dari relasi itu akan tercipta hubungan yang mengarah kepada hubungan apa saja, sehingga pada suatu saat kita tidak akan bisa lagi menemani sosial yang telah lama kecuali hanya sekedarnya saja. Sebagai gantinya kita akan menerima resiko untuk diperbincangkan entah itu sisi buruk atau sisi baik diri kita. Padahal kalau mau dibalik keadaannya, mengapa kalian tidak juga berubah? mengapa kalian tidak mau maju? mengapa kalian hanya seia sekata saja padahal tidak ada tindakan pada kalian untuk memulai hal baru?
Hari itu sengaja aku jalan keluar rumah hanya untuk menghilangkan penat dari rutinitas liburan di rumah. Liburan ternyata kegiatan yang membuat suntuk juga, soalnya tidak ada kerjaan. Di bawah pohon akasia di tempat dudukku aku berguman “sewaktu bekerja bosen, giliran sudah liburan bosen juga”. Dasar manusia!!!”.
Tak berapa lama dari itu sebuah pesan sms masuk. Pesan dari Lita memang yang paling banyak memenuhi inbox. Beberapa pesan yang terkadang menjadi kata-kata menarik sengaja aku simpan di aplikasi notes. Itu cuma iseng saja kulakukan.
“Ka, jadi berangkat lagi kapan nich, kapal apa next contract?”. Sms dari Lita yang barusan masuk begitu bunyinya.
Aku ceritakan bahwa aku akan berangkat lagi ke Oosterdam. Jujur saja sewaktu liburan pertanyan yang paling aku benci adalah pertanyaan “kapan berangkat lagi ke kapal?”. Mungkin suasana liburan ini aku tidak mau mendengar tentang istilah kapal lagi. Pada intinya pertanyaan “kapan lagi balik lagi ke kapal” tidak hanya Lita saja yang menanyakan. Tapi buat Lita seperti ada ekstra tenaga yang mendorongku untuk memberi jawaban apa saja pertanyaannya.
Aku masih sedikit berlama-lama di tempat pak FBI penjual minuman. Tempat tersebut dapat membuatku tertambat sejanak untuk beberapa jam lamanya. Karena angin semilir yang terus membelai kulit dan minuman dingin yang tersaji lebih menjanjikan nyaman untukku saat itu daripada aku harus berjalan lagi menyusuri trotoar.
Demikianlah hari-hari ku makin diwarnai dengan kehadiran Lita yang pada prinsipnya ia merasa mempunyai orang yang bisa dipercaya keabsahannya tentang informasi dunia kapal pesiar. Iphone yang menjadik asisten pribadiku bertambah fungsinya sebagai ruang konsultasi. Hampir tiap hari ada saja tanya jawab tentang bagaimana kapal pesiar itu sedang aku sendiri tahu kenapa enak aja menemukan Lita dengan kondisinya seperti itu.
Liburan empat bulan itu ibarat empat minggu saja kurasakan. Semua berjalan cepat sekali. Padahal kalau di kapal bisa saja aku merasakan empat minggu itu seperti empat bulan. Inilah lagi-lagi penyakit tidak puas diri manusia. Menikmati enak itu selalu kurang sedang mendapati hal yang kurang enak seperti enggan. “Dasar manusia!!!”, Irwan justru mengutuk keadaan dirinya dengan bahasa khasnya “dasar manusia!!!”.
Kota bogor dengan trotoar yang tak lebar lagi karena pengaruh warung tenda tetap mempunyai tempat untuk easy evening ku. Aku memang lebih suka untuk bernuansa dengan alam, melihat ke sekitar, ke jalanan yang orang-orang menunjukkan berbagai wajah perjuangan mereka. Sesaat aku rindu akan suasana trotoar depan hard rock café Barcelona. Gambaran yang ada persis seperti yang kulihat sore itu. Bedanya ada pada fisik. Aku lihat dari lampu merah beberapa rombongan pengamen yang beberapa di antaranya hanya menggunakan tabung aqua yang kalau dipukul tanpa ada nada. Kalau di depan hard rock café Barcelona orang mengamen pakai alat musik lengkap. Ada bas betot, gitar, perkusi, flute dan penampilan musisi jalanan itu rapi memakai jas. Ada yang berdasi tapi tidak dikenakan resmi. Pengamen yang kulihat dari lampu merah itu mengenakan kaos lusuh bergambar Bung Karno, pada leher ada tato kecil, rambut dibuat model punk yang menunjukkan karakter orang bebas berkehendak. Seni yang ditunjukkan tidak kutangkap justru imej seram yang kutangkap. Permukaan trotoar disini sama dengan trotoar seputar hard rock café Barcelona. Lantai trotoar bermotif segi enam warna merah. Bedanya disini terpasang tenda-tenda yang tiap hari mengeluarkan restribusi ke pemda di mana di balik tenda itu terdapat rekreasi kuliner yang transaksinya habis makan terus bayar. Sedang di Barcelona bisa dilihat kafe-kafe yang tata letaknya dikoordinir rapi. Bahan tenda terbuat dari besi, di bawah telah di set up meja-meja menggunakan table cloth lengkap dengan cutleries. Beberapa orang tengah duduk menikmati segelas chardonnay sambil tangan kanannya memegang buku, sedang orang lain dengan aktifitasnya tidak mengganggu si pembaca. Tidak ada yang siul-siul menggoda atau mengomentari pejalan yang lain.
Sore itu aku ingin bisa menambahkan penjelasan yang demikian ke Lita bahwa budaya luar negeri itu ada yang bermanfaat juga contohnya saling menghargai orang lain ketika berada di jalanan.
“Have a nice evening Lita”. Sms ku ke Lita mengakhiri aktifitas di trotoar sore itu.