fbpx
Skip to content

Sekali Ketemu

Pagi itu hujan rintik membasahi kota Bogor. Dilihat dari arah barat sebelah timur Bogor justru terang benderang menandakan tiada hujan di daerah sana. Irwan tidak berapa lama berteduh di balik tembok sebuah swalayan karena Ia pikir hujan tak akan berhenti-berhenti pagi itu. Sebenarnya ia sudah membatin kalau rencana ke bekas kampusnya akan kehujanan. Dasarnya ia cowok yang nggak suka ragu-ragu kalau ingin jalan maka kehujanan pagi itu menjadi sebuah konskuensi yang harus diterimanya. Setiap kali mau jalan ia jarang mempertimbangkan nanti itu bagaimana. Ia lebih cenderung berprinsip “gimana nantilah”. Kehujanan hanya sebuah tragedi kecil untuk langkahnya. Jarang sekali ia terlihat begitu kesal atau marah-marah jika kehujanan, justru ia seperti mempunyai fantasi tentang hujan di perjalanan. Menurutnya ketika ia berteduh di pinggir jalan sambil melihat hujan menjadi sensasi tersendiri yang mungkin jarang dimiliki oleh orang lain. Irwan sangat tertarik melihat air hujan yang saat mengenai jalan raya. Timbul percikan-percikan indah yang yang dapat dilihat. Seolah-olah ada molekul air yang akan mewujud menjadi kristal-kristal mirip diamond lalu buyar dan tidak jadi. Sesekali ia akan terlihat menyalakan batang rokok sebagai sahabat dalam mengagumi karya Tuhan tentang air hujan itu. Hanya karena air hujan pikirannya bisa menerawang hingga jauh sekali. Ia menganggap bahwa air hujan yang turun saat ini merupakan air bumi yang sejak puluhan tahun lalu terproses. Bukan air yang baru kemarin hari menguap lalu turun. Proses yang menurutnya panjang yang terjalani tanpa melawan kehendak. Semua menuruti aturan. Sedang manusia yang mendapatkan anugrah air hujan itu yang terkadang aneh-aneh. Air hujan kadang ditolak atau disingkirkan karena mentang-mentang ada hajat. Sebagian lagi mengadakan ritual bersama agar disegerakan hujan. Selalu ada rasa seperti tidak terima. Sudah dikasih malah menolak, tidak dikasih meminta. “Hemm … dasar manusia!!!”, begitulah otaknya bekerja kalau ia sedang menerawang jauh memikirkan hujan. Sebagai pengagum hujan Irwan mempunyai perilaku yang boleh dibilang unik. Ia akan tampak berkomat-kamit kalau tidak membatin untuk menyebut kesempurnaan Tuhannya.

“Subhanallah … Maha Suci Engkau … ya Allah Engkau telah menciptakan hujan, sehingga tumbuh-tumbuhan dan beberapa makhlukmu merasakan manfaatnya”.

“Ya … Allah jangan Engkau biarkan hujan ini berlama-lama karena aku ingin melanjutkan perjalanan”. Sangat unik memang, satu sisi mengagumi kekuasaan-Nya, satu sisi ternyata ada pamrih”.

Sudah menjadi tradisi turun temurun kalau anak-anak BHI pada nongkrong di den haag cafe di dalam Hotel salak. Suasana memang menjadikan orang ingin balik ke tempat tersebut. Hot Spot, Counter Bar, Food Counter, dan fasilitas yang lain mendukung acara ngerumpi jadi tambah asyik. Tidak ada rencana untuk berkunjung ke bekas kampusnya, apalagi ada semacam perasaan yang konyol andai dirinya nongol di sana. Perasaan yang mengatakan bahwa bekas dosen akan menyindir atau mungkin saja menagih oleh-oleh dari luar negeri.

Memang Irwan termasuk salah satu siswa yang berhasil masuk ke Holland America Line yaitu salah satu perusahaan besar kapal pesiar. Seperti sudah menjadi tradisi bahwa orang yang berhasil berangkat ke kapal pesiar akan digolongkan siswa yang sukses. Ternyata target untuk bisa kesana bukan hanya menjadikan sebuah kebanggaan pribadi saja. Pihak kampus pun menikmati kebanggaan itu. Mungkin akan menjadikan nilai lebih di kemudian hari bagi kampus tersebut. Bahasa bisnisnya akan semakin menaikkan citra sekolahan dimana sekolahan berhasil mendidik orang-orang yang berkualitas. Mungkin dari hal itu akan banyak murid baru yang tertarik untuk bergabung di sekolah tersebut.

Suasana pagi menuju siang semakin menampakkan sisi terangnya. Meski tadi awan hitam menggelapi seantero langit lambat laun warna hitam tersebut pudar karena sudah banyak air tumpah ke bumi. Irwan mendapati bajunya yang sudah kering, lalu ia langkahkan kaki ke dalam kafe.
Kafe Den haag sedikit ramai dengan sebagian pengunjung siswa siswi BHI.
Irwan melihat BHI masih megah berdiri. Ibarat second home, BHI membuat Irwan betah untuk berlama-lama. Hanya saja sepulang dari kapal kemarin baru sekarang Irwan menginjakkan kaki ke sana. Itupun hari ini dikarenakan menemani Bhebhe yang ingin mengikuti walk in interview untuk sebuah hotel.

Siang itu Irwan merasa bahwa bekas kampus itu seperti menjadi tempat yang cocok untuk menumpahkan rindu akan masa perjuangan dulu. Rindu akan masa di mana keinginan untuk bisa keliling dunia diawali. Setiap hari orang-orang tidak menyangka bahwa di dalam diri Irwan bergejolak rasa ingin bisa pergi ke Amerika, atau mengililingi dunia dengan kapal pesiar. Secara umum orang hanya akan tahu bahwa Irwan di sekolah tersebut hanya belajar bahasa Inggris dan ilmu perhotelan. Dalam dirinya ada motivasi yang begitu kuat yang tiap hari berteriak, “aku harus segera bekerja”. Memang terkadang cita-cita lebih banyak tersimpan dalam hati. Jarang ada yang berani menyuarakan dengan lantang bahwa keinginan atau cita-citanya itu tinggi sekali. Alasan pertama tidak ingin dikatakan terlalu muluk-muluk. Alasan kedua tidak tahu sama sekali bagaimana harus menstimulasi dirinya sendiri bagi cita-citanya.

“Sialan, gue tadi nekat kehujanan cuman biar gak terlambat aja sampai sini, eh … malah lu yang ternyata selalu terlambat dari pada gue”. Irwan melontarkan kata-kata itu pada Bhebhe yang ternyata baru datang sepuluh menit setelah dirinya.

Irwan segera menggeser tempat duduk tepat di depannya yang terhalang oleh meja kafe. Bhebhe cuma tersenyum sambil meletakkan bokongnya di kursi tersebut, sambil ia membuka mulutnya.
“He he he … kau ini kalau merasa lebih dulu datang selalu merasa yang paling disiplin aja. Emangnya janjian jam berapa?”, Bhebhe membalas dengan pertanyaan.

“Tuh … yang bikin janji aja lupa, gimana mo bisa tepat waktu. Eh kalau lu kerja ama orang bule, lu udah kena warning tahu gak”, ekspresi Irwan seperti tidak terima.

“Iye … iye … Gue ngangku salah. sekarang mo minum apa?” ucap Bhebhe sambil melangkahkan kakinya menuju food & bar counter. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf atas keterlambatan pikirnya.

“Coce aja dech, jangan lupa pakai lemon ya, … please!”. Sebatang marlboro light segera Irwan keluarkan dari sakunya selagi menunggu minuman dari bhebhe datang. Cringg … Zippo warna kuning dengan gambar lubang peluru dinyalakan. Suara zippo itu cukup membuat ruangan yang hening sedikit terusik. Terlihat beberapa orang yang tengah duduk membelakangi Irwan menoleh seperti ingin tahu apakah zippo itu asli atau tidak.

“This is your coce sir, anything else you’d like to order?” Tampak Bhebhe sudah duduk di tempatnya lagi sambil menyodorkan coca-cola yang saat itu disajikan menggunakan gelas tipe high ball berwarna abu-abu tua bertuliskan merk minuman itu sendiri “coca cola”.
“Doa’in interview hari ini diterima ya!”, Pinta Bhebhe dengan sungguh-sungguh. Tersirat ketegangan pada wajahnya. Maklum saja menghadapi walk in interview itu ibarat seperti perang bharatayuda. Semua keahlian akan dikeluarkan demi untuk menjawab pertanyaan yang tidak lebih dari tiga puluh buah.

“Jailah … lu gak minta di doa’in aja udah gue doa’in selalu. Moga lancar rejeki, moga enteng jodoh”. Sambil bercanda Irwan berucap. Bhebhe sudah terlihat berusaha untuk tidak menunjukkan kegugupannya siang itu.


“Heh … kok malah melamun”, bentak Bhebhe ketika mendapati mata Irwan yang kosong.
“Ngomongin masalah interview, BHI telah berhasil meng-upgrade diriku untuk sedikit mengerti bahasa Inggris. Karenanya pula aku berhasil lolos dalam interview di SBI tahun lalu”. Irwan berhenti sebentar dalam ucapannya. Sambil mengeluarkan nafas lega Irwan berucap. “Tanpa sekolah di BHI mungkin angan-angan ke kapal pesiar gak jelas kedapat”. SBI adalah Sumber Bakat Insani yang menjadi agen recruiting Holland America Line”.

Teringat interview yang akan dihadapi Bhebhe pun ingat dirinya sendiri. Tampak ia mulai mempersiapkan segala sesuatunya demi interview test hari ini.

Siang itu satu persatu tanpa disengaja berkumpul teman-teman irwan yang juga seangkatan di kampus dulu. Mereka berkumpul dengan tema yang spontan. Tidak ada yang banyak diperbincangkan saat itu kecuali canda-canda kecil yang menyelingi nasehat-nasehat jitu Irwan ke Bhebhe tentang bagaimana menghadapi interview.

Dari arah lain terlihat seseorang berkata sedikit teriak “Pak! Pak! Ini Irwan alumni BHI! Baru aja dia pulang dari kapal pak!”. Seorang cewek bernama Miema berusaha memberitahu keberadaan Irwan di di situ pada seorang lelaki yang kebetulan juga sedang di dalam kafe. Lelaki itu segera menoleh dan mendekat ke arah Irwan

“Hei … kalian dah lama disini”. “Apa kabar wan? Gimana Wan … selamat datang dech di Indonesia. Baru pulang dari kapal ya”. Ucapan itu ditujukan ke Irwan. Lelaki itu tampaknya sudah mengenal Irwan pula. Dia adalah pak Upuk yaitu bekas dosen Irwan. Sekarang masih mengajar di BHI.
“Kebetuluan bapak dan adik-adik kelasmu ada di sini,, ayo sempatin buat sharing pengalaman. Jarang-jarang ada alumni sukses mau mampir”. Pak Upuk berusaha mengajak Irwan untuk sedikit berbagi pengalaman kepada adik kelasnya yang kebetulan bersama pak Upuk di dalam kafe. Pak Upuk juga terlihat antusias atas pemberitahuan Miema.

“Thanks Pak Upuk. Kebetulan kesini antar teman. Sharing nya lain waktu aja ya pak, saya tidak ada persiapan sama sekali”. Irwan menyanggah permintaan laki-laki itu.

“Udahlah, cuman acara santai ini, ayo aku antar ke sana! … please! Biar adik-adik kelasmu semangat”. Pak Upuk berusaha meyakinkan Irwan. Tangan laki-laki itu menggapai tangan Irwan untuk diajak berlalu dari situ. Teman yang lain tak memberi komentar apa-apa. Mereka masih melanjutkan dengan tema spontan-spontan yang dibahas. Irwanpun akhirnya beranjak meninggalkan sekawanan temannya di tempat termasuk Bhebhe sambil memberi kata-kata execuse sebentar.

“Bentar ya … kalian enjoy aja!”. Irwan mohon diri sambil kedua pundah diangkat dan tanganya menengadah ke atas seperti mengangkat sesuatu.

Siang itu memang tidak ada yang special di Kafe Den haag. Pengunjung masih seperti biasa. Beberapa orang sedang main netbook. Maklum adanya hotspot menarik perhatian para bloggger maupun facebooker untuk berselancar di situ. Mereka berselancar ke dunia maya. Dunia yang penuh ruang dan seperti tidak ada keterbatasan. Sebagian dari mereka ada yang terlihat berkali-kali order capuccino maupun hot drink lainnya. Memang begitulah secangkir kopi dan rokok menjadi partner yang tak pernah komplen meski di ajak berpetualang ke dunia maya berjam-jam. Justru terkadang kelakuan orang-orang itu yang menjadikan jemu waiter atau waitres. Order makanan ringan dan kopi saja bisa menyita tempat dan waktu yang lumayan lama. Sudah menjadi konskuensi kalau fasilitas hotspot itu menarik pengunjung tapi satu sisi terkadang hanya memenuhi tempat, soalnya mereka cuma sekedar mengambil fasilitas free internet saja, sedang untuk order makanan atau minuman ringan hanya untuk formalitas.

Irwan mengimbangi antusias pak Upuk. Dengan semangat ia menjelaskan bahwa bekerja di kapal pesiar itu total berbeda dengan seperti apa yang dibayangkan. Akan ada hari-hari yang tidak selalu indah. Itu bukan karena tidak bisa bekerja, tetapi karena rutinitas yang tiap hari dijalani selalu sama dan sama. Tidak ada hari libur. Kejenuhan itu yang sekali tempo menjadikan suasana hati kusut. Ada beberapa sisi positifnya dan tentu saja topik klasik yaitu dollar. Keliling dunia … ya … itu juga menjadi salah satu anugrah dan bagian dari perjalanan waktu di kapal pesiar. Irwan mengulas tentang pengalamannya bekerja di kapal pesiar.

“Emang pacarnya nggak kangen ka, kalau ditinggal lama gitu?”. Cewek yang sejak tadi paling serius memperhatikan ulasan tampak mengangkat bicara dan mengajukan pertanyaan yang tak disangka oleh Irwan. Cewek itu duduk di dekatnya.

“Aku yakin cewek itu akan tidak terima kalau kutinggal lama, dan aku yakin susah sekali meyakinkannya bahwa aku berangkat ke kapal itu untuk kembali dan untuk sementara, tapi yang jadi soal ceweknya itu yang gak ada … he he he”. Sekenanya Irwan menjawab.

Panjang lebar perbincangan siang itu. Kafe Den haag sedikit asing bagi Irwan siang itu karena banyak orang-orang dari BHI yang tergolong baru. Mereka adalah orang-orang yang sangat antusias untuk bisa pergi ke kapal pesiar. Persis seperti yang dirasakannya sewaktu di BHI dulu. Cewek yang duduk di samping Irwan itu bernama Lita. Ia yang tampak paling serius memperhatikan penjelasan-penjelasannya tadi. Lita merupakan sisiwi BHI yang terlihat tekun dalam setiap pelajaran atau setiap kegiatan kampus. Bahkan banyak acara non formil di hotel Salak yang dapat diikuti Lita untuk tambahan materi tentang ilmu hotelnya. Tak heran keahlian juggling dikuasai oleh Lita yang belum tentu teman-temannya bisa. Itu buah dari ketekunannya belajar.

Lita cenderung cewek yang supel dan aktif. Menurutnya segala sesuatu itu perlu dipelajari. Bukan hanya untuk komersil semata melainkan bisa untuk fun. Siang itu Lita memang terlihat paling antusias. Ia diajak oleh pak Upuk secara tidak sengaja karena kebetulan Lita sering berada di kampus.

Ada yang menjadi kesan mendalam dari kejadian den haag café siang tadi. Irwan merasa sebuah keberhasilan itu akan dirasa ketika langkah yang diambil itu sedikit lebih dulu dari pada yang lain. Langkah yang lebih dulu paling tidak memberi pengalaman yang nyata yang bisa dirasa. Karena ia lebih dulu dapat bekerja di kapal pesiar dibanding rekan-rekannya itulah seolah menjadikannyaa paling depan dan tampak lebih dulu sukses. Perasaan mendalam Irwan siang itu bukan hanya masalah ia dianggap sebagai orang sukses, tetapi ada cewek yang mau serius bertanya tentangnya, tentang perjalanannya, tentang hari-harinya di kapal. Pokoknya siang itu hal unik untuk hari setelahnya.

Singkat sepele dan tak di rencana pertemuan siang itu menjadi perjumpaan pertama kali dengan Lita.

“Ka Irwan, Lita bisa minta no telp gak, ntar Lita pengen konsultasi lebih detail tentang Holland America Line, boleh gak?”. Sambil mengeluarkan hp Lita memohon. Keduanya lalu bertukar nomer telepon.
“Ok dech”. Irwan segera mengejakan no telpnya sekaligus me-record nomer Lita. Setelah berpamit diri Irwan segera beranjak dari situ sebab Bhebhe sudah menunggu di warung seberang kafe Den haag.

Lita bersama temannya yang lain pun menyalami Irwan. “Makasih ka, keep in touch ya …!”. Seru Lita terakhir.


“Ok dech … thanks semuanya, pak Upuk thanks!”. Sambil melambaikan tangan tanda pergi Irwanpun berlalu.