It made me nostalgic! ini yang terdengar ketika beberapa rekan lama memposting gambarnya ketika ikut cruise (kapal pesiar). Seperti diingatkan sebuah momen indah, atau bahkan disaat yang sama sebagian justru teringat momen tidak enaknya.
Apapun itu, saya sendiri dengan pembelajaran yang tak ada habisnya sekedar memperbaiki diri. JIka di dalam kapal pesiar tidak ada ruang di balik korden tempat tidur , mungkin sudah tidak ada lagi tempat paling privacy yang mengantarkan pada tidur yang nyenyak atau gelisah yang sering berulang. Gelisah memikirkan sebuah rencana untuk esok, untuk menempatkan pribadi yang diharap lebih baik. Dibalik korden itulah peraduan yang menyadarkan bahwa kita crew, tidak lebih manusia yang sudah masuk dalam rutinitas pekerjaan, rutinitas menyelesaikan masalah finansial maupun menjadi pribadi yang ingin mencari penghidupan yang lebih layak menurut prasangkanya. Benar saja, kesempatan demi kesempatan silih berganti, datang dan pergi dan masing-masing melewati perjalanan, dari kontrak pertama, kontrak berikutnya dan seterusnya.
Ketika disadarkan pada sebuah kenyataan bahwa kita tetap di dalamnya, akhirnya pemahaman akan suka dan duka itu tetap tergantung pada suasana hati. Serasa dunia ini sempit, boleh jadi jiwalah yang sebanarnya sempit, bukan dunianya.
Peraduan di balik korden tempat tidur, cukup memberi ruang untuk sejenak tubuh terlentang dan mata menatap langit-langit tempat tidur atasnya apabila kita kebagian tempat tidur yang bawah, atau langit-langit kamar karena mendapat bagian tempat tidur kedua atau diatas, dan semua itu sebuah permuakaan yang dapat tergapai oleh tangan. Lalu penerangan yang cukup terang dapat kita tutup memakai kain atau kertas warna sehingga menjadi lebih gelap, atau dimatikan sekalian dengan tatapan menembus gelap. Hanya desiran individual thermostat/ ac cabin yang bersuara dan saling berebut dengan detak jam wake mengiringi alur pikiran yang kemana-mana. Keluarga di rumah, orang yang terkasih di Indonesia, dan ….. dan ….. dan ….
tidak ada yang tahu, ketika butiran air mata juga bisa keluar, bukan untuk menangis seperti anak kecil yang kehilangan balon. Lebih pada pengakuan – si Aku yang kadang mementingkan ego, menghitung nominal-nominal dollar yang dilawankan dengan kebutuhan. Akhirnya kerinduan alami si Aku seperti bisa merasa bahwa kebahagiaan itu kadang tidak bisa diukur dengan lahiriah saja.
Tiba-tiba perasaan kembali bersemangat, ketika kembali sadar, bahwa semua itu ibarat perjalanan. Seperti ikut mengambil bagian sebagai pribadi yang bertugas untuk melewati semata, dan meyakini bahwa akan ada waktu, akan ada masa dimana masih ada hari yang lebih indah, dan hati tetap pada rasa syukur saat ini, tetap pada rasa yang tidak semata-mata sibuk memikirkan nikmat yang belum sampai. Dan … dimanapun, kapanpun pembelajaran untuk menjadi lebih baik pun senantiasa ada.
Leave a Reply