Sore belum juga menampakkan gelapnya padahal jarum jam sudah menunjukkan angka 7 malam. Sejenak aku menikmati pemandangan kota barcelona yang terlihat padat di setiap sudutnya. Sesekali terdengar logat bahasa spanyol yang berbentur dengan ucapan dengan dialog bahasa inggris sedang dalam hati aku hanya membatin dengan bahasaku sendiri (jawa). “Iki do ngopo kok ting blasur”.
He he he … begitulah kekesalan yang kulampiaskan pada mereka gara-gara mau nyari tempat untuk angkringan saja tidak ada. Aku tetap rindu suasana daerahku sendiri dengan khas makanan di HIK (Hidangan istimewa kampung angkringan). Melihat orang yang tengah duduk di depan meja dengan taplak putih dan satu gelas wine chardonay di atasnya tetap tidak mengalahkan romantisme wedang jahe ala HIK kampung halaman. Wedang jahe gepuk dapat kunikmati bersama rokok surya 16 dan dihidangkan memakai gelas blimbing sedang aku dapat duduk di dekat tungku pemasak air. Suasana klasik dan njawani tetap elegan dalam hatiku. Dan justru kurindukan di saat aku lama meninggalkannya.
Barcelona … menurutku hanya kopian dari kota jakarta yang lebih tertata, tetapi pergerakan yang serba cepat di beberapa hal kurasa sama. Bedanya kalau di jakarta berbentuk rupiah kalau di barcelona ini adalah euro.
Yeay … begitulah uang tetap bersahabat bagi yang ingin bersahabat denganya dan akan menjadi tidak bersahabat karena menjadikannya segalanya. Barcelona yang kupandang hari ini juga menyimpan wajah-wajah dengan raut yang sedikit tegang karena uang bagai “easy come easy go”.
Aku mengambil sudut untuk mencuri pandang raut muka yang terlihat bahagia di sebuah taman depan hard rock cafe. Tahu kan, sedang apa mereka? Itulah mereka yang selalu menganggap dunia adalah milik mereka berdua. Orang yang bergerak kesana kemari seolah patung.
Oct 19/2010 – ADMedWist